Genduk Cempluk (Pt.2) -- Mimpi-mimpi itu milik Jeng Kinten, bukan aku.
Semakin malam, tentunya si mbok bertanya-tanya diman aku sekarang. Ah.. biar saja.. aku jenuh di rumah. Hanya kalen priyayi yang bisa menebus rasa rinduku pada masa-masa bersama jeng kinten.
Jeng Kinten tidak seperti aku, dia punya banyak rencana dan mimpi-mimpi. aku cuma senang mendengar cerita rencana dan mimpi-mimpinya, menghibur. aku tidak punya banyak mimpi seperti jeng kinten, atau tepatnya aku tidak berani punya banyak impian-impian seperti itu. Apa gunanya buatku? Sehari-hari hidupku sudah jelas. bangun subuh, pergi ke kalen tunggil lemu (kalen priyayi tidak digunakan untuk mencuci-cuci walaupun pada akhirnya toh muaranya bertemu), pakaian-pakaian orang rumah dan tetangga-tetangga kaya (lumayan untuk menambah penghasilan), lalu mencari tanaman-tanaman untuk bahan-bahan membuat jamu si mbok. si mbok berharap aku meneruskan usahanya membuat jamu. ah.. apa bisa dibilang usaha, wong sehari cuma bikin beberapa kendi, kecuali ada yang baru babaran atau mau jadi manten. Lumayan menambah pesanan.
Jeng kinten, punya impian hidup seperti cinderella (darimana dia itu tau cinderella?) menikah dengan pangeran dan hidup bahagia selama-lamanya. Ah.. jadinya menikah dengan juragan sapi gendut. untungnya orang baik-baik. keluargaku sering dapat kiriman-kiriman, jenang-jenang dan kadang tanaman2 langka untuk jamu si mbok. wuih.. si mbok senang sekali. bahkan pernah dapat kiriman daging sapi. kata si mbok, jeng kinten beruntung. hmm... mungkin iya. tapi kan sekarang dia tidak bisa menikmati kalen priyayi di malam hari.
Aku tidak iri dengan jeng kinten. atau sebaliknya ya? ah.. aku merasa hidupku baik-baik saja. karena memang aku tidak pernah berharap terlalu banyak, pada soal apapun. buat apa? hidupku setiap harinya seputar kalen-kalen, dan rempah jamu. itu cukup.
Kok mataku basah yah? apa iya aku menangis? baru terasa.. betapa dalam rinduku sama jeng kinten. mungkin bukan hanya sama jeng kinten, tapi juga kehidupanku sewaktu jeng kinten masih menghabiskan malam-malamnya di kalen priyayi denganku. jeng kinten seperti pelengkap yang melawan ketidakberanianku untuk bermimpi. aku merasa jeng kinten menyalurkan hasrat bermimpi yang tidak bisa aku penuhi, namun tersalurkan. dan karena mimpi-mimpi itu milik jeng kinten, aku selamat. aku tidak akan kecewa karena apapun. mimpi-mimpi itu milik jeng kinten, bukan aku.
kerlap kerlip di ujung kalen priyayi meredup... menyepi.. tidak ada lagi suara gending, suara orang sayup-sayup menjauh.
Waktunya pulang. Si Mbok pasti khawatir.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home